Aku pelacur, berjalan ke sana kemari tegakkan batang kelelakian,
tawarkan desah kepuasan, gelinjang kenikmatan, dan lendir kesenangan
pada lelaki-lelaki jahanam.
Aku pelacur, terbedakan kelasnya dari apa yang disebut istri sebagai
pemberi buah hati secara sah dan penjaga setia dari sebuah rumah tangga
dan terbedakan kelasnya dari apa yang disebut selir yang tugasnya penuhi
kebutuhan sehari-hari.
Aku pelacur, terperosok dalam lubang hina-dina yang kubangun sendiri
dengan material nafsu syahwat. Muntahan kejang orgasme jadi cat dinding
kamar rumah bordil yang menyimpan suap nasi dan lembar rupiah yang
keluar dari saku baju lelaki yang di otaknya cuma ada imaji mesum.
Aku pelacur, mabuk kepayang di atas pelukan dosa yang saban harinya
bagai hujan selama setahun penuh tanpa jeda kemarau sedetik pun.
Aku pelacur, kais rezeki dari sikap tak kuasa tampik sikap genit kaum
berduit. Aku oleh mereka bukanlah perempuan sundal tapi sosok feminin
dengan baju bidadari yang dari tubuhnya tercium harum surga kenikmatan.
Kenikmatan yang bagiku hanyalah seperti gejala optis yang tampak pada
permukaan yang panas, yang kelihatan seperti genangan air. Semu memang.
Aku pelacur, hidup dalam kamar-kamar laknat, ruang kecil disarat sifat
bejat, sementara nanti di ujung sana menanti telunjuk mengacung hujat.
Aku pelacur, berjalan di bawah awan dosa yang lambat laun ‘kan turun
hujan kutuk Tuhan. Tiada rindang menaung sampah diri. Serba peluh panas
dirasa tubuh dari geliat nafsu durjana yang dipetik dari taman-taman
ditumbuh buah terlarang.
Aku pelacur, dalam gemeretak gigiku nikmati buah khuldi, hadiah terindah yang dikirim setan.
Aku pelacur, berkubangku dalam lenguh rengek lelaki jahanam yang pangkal
pahaku adalah bantal empuk mereka. Napas-napas memburu berdesakan
hancurkan citra positif perempuan di mata khalayak.
Aku pelacur, pelayan dengan hidangan serba meracun mata dari ujung
rambut hingga ujung kaki. Lalu menjadi sajian melenakan yang laki-laki
lantas tumbuh sebagai budak syahwat dengan gigi-gigi tajamnya mengerat
dengan suara hebat. Seperti gigi reptil, hancurkan mangsanya tanpa ampun
tanpa belas kasih.
Aku pelacur, datang dengan langkah kaki keterpaksaan demi terpenuhinya
lambung oleh suap makanan pembawa kenyang atau teguk air pembawa
kesegaran.
Aku pelacur, sejatinya berpeluh air mata meski berdansa di atas licin
lendir yang membasah dari organ intim yang beradu sengal napas.
Tetangisan yang keluar tiap malam pada akhirnya hanyalah sebuah bentuk
air mata buaya. Genangnya tak pernah membuatku terpeleset ke arah
kesadaran diri ‘tuk menginsaf.
Aku pelacur, ingin sekali kuakhiri tatap mata jalangku pada tiap diri
lelaki pecundang yang selalu ingin menang perang di medan ranjang. Ingin
sekali kuhabisi jiwa petualang lelaki hidung belang yang senantiasa
berdiri dengan kacak pinggang. Ingin sekali kuhentikan gerayang tangan
pada belahan dada atau tarian lidah pada mulus selangkangan. Ingin
sekali umbar nafsu lelaki durjana musnah sedemikian rupa sehingga
malam-malam durjana lenyap bersama senyap.
Aku pelacur, ingin sekali agar gelora tubuh pendosa padam bersama
malam-malam kejam yang hampir tak pernah mati hiasi dunia hitam.
Aku pelacur, tepercik lendir dan duri prostitusi, di sini di sebuah
ruang tempatku berseragam rok mini dengan parfum kacangan di pori-pori.
Aku pelacur, jatuh dalam pelukan lelaki “pembeli perempuan” dengan
ratusan ribu di tangan sebagai nilai nominal tarif “booking”-an.
Aku pelacur, hanya bisa teriakkan gelinjangku pada dinding bilik dengan
tumpahan anyir cairan sperma sebagai titik puncak pergelutan nafsu
angkara.
Aku pelacur, coba hardik rasa terpaksa yang kadung menghimpit jiwa. Maka
jika nanti telah terusir dari hati, aku ingin agar jalang jiwa ini
hancur berantakan sebelum Tuhan hunjamkan pisau laknat-Nya dari sarung
kebesaran-Nya padaku.
Aku pelacur, berjalan ke sana kemari dengan langkah sepatu hak tinggi
keterpaksaan yang tapaki jalan-jalan beraroma air mani yang diembus
lelaki-lelaki nafsu hewani.
Aku pelacur, berjalan ke sana kemari menjemput rupiah yang menyembul dari saku baju kaum adam jahanam.
Aku pelacur, berjalan ke sana kemari habiskan malam kejam bersama rasa
asam peluh dan simbah lelah tikus got jalanan yang berani membayar upah
atas jasaku terbangkannya ke alam fantasi liar yang selalu tertanam di
pikiran kaum pejantan.
Aku pelacur, berjalan ke sana kemari tawarkan indah belahan dada atau
hangat organ intim wanita dengan kemas senyum membahana dari bibir yang
sebenarnya simpan nestapa rasa. Aku pelacur, perempuan yang tergusur
bersama liang kewanitaanku sendiri.
Aku pelacur…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar